Untuk kegunaan lain dari Sriwijaya, lihat
Sriwijaya
Sriwijaya (atau juga disebut
Srivijaya;
Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu
kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau
Sumatera dan banyak memberi pengaruh di
Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari
Kamboja,
Thailand Selatan,
Semenanjung Malaya,
Sumatera,
Jawa, dan pesisir
Kalimantan.Dalam
bahasa Sanskerta,
sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan
wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan" maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok,
I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu
prasasti Kedukan Bukit di
Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya serangan dari raja
Dharmawangsa Teguh dari
Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan
Rajendra Chola I dari
Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan
Dharmasraya.
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan
PerancisGeorge Cœdès dari
École française d'Extrême-Orient.
[sunting]
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana PerancisGeorge Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.Catatan sejarah
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi
Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal,
Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat
jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14
papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian
buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar
Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau
San-fo-ts'i atau
San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut
Yavadesh dan
Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya
Zabaj dan Khmer menyebutnya
Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta
Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau
Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993,
Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di
Sungai Musi antara
Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi
Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan
Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.
[2] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun sebelumnya
Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran
Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi
Jambi sekarang), dengan catatan
Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan
Candi Muara Takus (provinsi
Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan
I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (
Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan
cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh
Rajendra Chola I, berdasarkan
prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di
Kadaram (
Kedah sekarang).
[sunting]Pembentukan dan pertumbuhan
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan
Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi
Madagaskarsejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh
datu setempat.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan
I Tsing, dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan
Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu
Malayu dan
Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan
prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau
Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga
Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa
Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum
Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya
Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (
Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah
Tarumanegara.
[15] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di
Selat Malaka,
Selat Sunda,
Laut China Selatan,
Laut Jawa, dan
Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di
Thailand dan
Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi
sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja
Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.
[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan
Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa
Sailendra bermigrasi ke
Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu,
Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia membangun
candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs
Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari abad ke-7 sampai ke-8 masehi.
Sebagai pusat pengajaran
Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok
I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di
Universitas Nalanda,
India, pada tahun
671 dan
695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada
Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin
emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran
Buddha Hinayana dan
Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10,
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal
Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di
Tibet dalam kertas kerjanya
Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan
Sri Cudamani Warmadewa penguasa
Sriwijayanagara di
Malayagiri di
Suvarnadvipa.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya
India, pertama oleh budaya
Hindu kemudian diikuti pula oleh agama
Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun
abad ke-7 hingga
abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan
bahasa Melayu beserta kebudayaannya di
Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 dikabarkan tertarik untuk mempelajari Islam dan kebudayaan Arab, sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di
Damaskus,
Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah
Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.
Arca
Maitreya dari
Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti
Prasasti Talang Tuwomenggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya.
Prasasti Telaga Batumenggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara
Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan
bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan
bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di
Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi
lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa
Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti
Candi Kalasan,
Candi Sewu, dan
Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain
Candi Muaro Jambi,
Candi Muara Takus, dan
Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca BodhisatwaAwalokiteswara dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas
Selat Malaka dan
Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari
vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai
entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam
mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di
Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun
670 hingga
1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief
Borobudur yaitu menggambarkan
Kapal Borobudur, kapal kayu ber
cadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa
Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara,
Oseania, dan
Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan
India dan
Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah
Arab. Kemungkinan utusan Maharaja
Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada
khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari
Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah
Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan
Shih-li-fo-shih dengan rajanya
Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa
ts'engchi (bermaksud sama dengan
Zanji dalam
bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian,
kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya
Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
[sunting]Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari
Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau
thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau
Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang
Samudra Hindia.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal
Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk
Madagaskar adalah orang
Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya. Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan penelitian DNA mitokondria, suku pribumi
Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang lal Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sansekerta dengan modifikasi linguistik melalui
bahasa Jawa dan
bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.
[sunting]Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan
dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama
Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada
prasasti Kalasan di pulau Jawa,
prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada
prasasti Sojomerto dijumpai nama
Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan
Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan
India.Kemudian Moens menambahkan kedatangan
Dapunta Hyang ke
Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.Sementara
Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas
Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa
Melayu Kuna di antaranya
prasasti Sojomerto.
[sunting]Hubungan dengan kekuatan regional
Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan
kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah
Umar bin Abdul Aziz dari
Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal,
Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa
Chaiya, di propinsi Surat Thani,
Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra menjalin persekutuan melalui hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra di Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya mengambil kendali kekuasaan, menjadi Maharaja Sriwijaya dan memerintah dari Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan
Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi antara
Balaputradewa melawan
Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputra menyingkir ke Palembang dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja
Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari atas dorongan Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan
Pala di
Benggala, pada
prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja
Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada
Universitas Nalanda. Relasi dengan
Dinasti Chola di selatan
India juga cukup baik. Dari
prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di
Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah
viharayang dinamakan dengan
Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah
Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa
Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar
Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (
Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat
Kanton pada tahun
1079. Pada masa
dinasti Song candi ini disebut dengan nama
Tien Ching Kuan, dan pada masa
dinasti Yuan disebut dengan nama
Yuan Miau Kwan.
[sunting]Masa keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain:
Sumatera,
Jawa,
Semenanjung Malaya,
Thailand,
Kamboja,
Vietnam,dan
Filipina.Dominasi atas
Selat Malaka dan
Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu,
cengkeh, kayu
cendana,
pala,
kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini
Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari
Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama
San-fo-tsi, sedangkan
Kerajaan Medang di
Jawa dengan nama
Cho-po. Dikisahkan bahwa,
San-fo-tsi dan
Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan
Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan
Sri Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di
Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada
San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah
Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.
Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya,
Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu
cheng tien wan shou dan menganugerahkan
genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di
Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan
Kerajaan Medang di Jawa. Dalam
prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa
Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana
Haji Wurawari dari
Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir
Dharmawangsa Teguh
[sunting]Masa penurunan
Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.
Tahun
1017 dan
1025,
Rajendra Chola I, raja dari
dinasti Chola di
Koromandel,
India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan
prasasti Tanjore bertarikh
1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah
Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu
Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan
San-fo-ts'i ke Cina tahun
1028.
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun
1079,
Kulothunga Chola I (
Ti-hua-ka-lo) raja
dinasti Choladisebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul
Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun
1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja
Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun
1088.Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul
Dharmasraya dan
Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun
1079 dan
1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun
1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu
kota maupun kota lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan
Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada
abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku
Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan
Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi;
Si-lan (
Kamboja),
Tan-ma-ling (
Tambralingga, Ligor, selatan Thailand),
Kia-lo-hi (Grahi,
Chaiya sekarang, selatan Thailand),
Ling-ya-si-kia (
Langkasuka),
Kilantan (
Kelantan),
Pong-fong (
Pahang),
Tong-ya-nong(
Terengganu),
Fo-lo-an (muara sungai
Dungun daerah Terengganu sekarang),
Ji-lo-t'ing (
Cherating, pantai timur semenanjung malaya),
Ts'ien-mai (
Semawe, pantai timur semenanjung malaya),
Pa-t'a (
Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya),
Lan-wu-li (
Lamuri di
Aceh),
Pa-lin-fong (
Palembang),
Kien-pi (
Jambi), dan
Sin-t'o (
Sunda).
[sunting]Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan
dātu, (
tnah rumah) tempat tinggal
bini hāji, tempat disimpan
mas dan hasil
cukai (
drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh
vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat
viharauntuk tempat beribadah bagi masyarakatnya.
Kadātuan dan
vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut
Casparis,
samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan
vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (
samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan
mandala merupakan suatu kawasan otonom dari
bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan
kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan
Dapunta Hyang atau
Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan
yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan
rājakumāra (pewaris berikutnya).
Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah
raja putra (putra raja yang keempat),
bhupati (
bupati),
senopati (komandan pasukan), dan
dandanayaka (
hakim). Kemudian terdapat juga
Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),
Adyaksi nijawarna/wasikarana (pembuat
pisau),
kayastha (
juru tulis),
sthapaka (pemahat),
puwaham (
nakhoda kapal),
waniyaga,
pratisra,
marsi haji, dan
hulu haji (
peniaga, pemimpin, tukang cuci, budakraja).
Menurut kronik Cina
Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas,
Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni
yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di
Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi 2.
[sunting]Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya
671 | Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa | Srivijaya
Shih-li-fo-shih
| Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
|
702 | Sri Indrawarman
Shih-li-t-'o-pa-mo
| Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
| Utusan ke Tiongkok 702-716, 724
Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
|
728 | Rudra Vikraman
Lieou-t'eng-wei-kong
| Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
| Utusan ke Tiongkok 728-742 |
743-774 | | | Belum ada berita pada periode ini |
775 | Sri Maharaja | Sriwijaya | Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkanKamboja |
| | Pindah ke Jawa (Jawa Tengahatau Yogyakarta) | Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya |
778 | Dharanindra atau
Rakai Panangkaran | Jawa | Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan
|
782 | Samaragrawira atau
Rakai Warak | Jawa | Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 |
792 | Samaratungga atau
Rakai Garung | Jawa | Prasasti Karang Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
|
840 | | | Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan |
856 | Balaputradewa | Suwarnadwipa | Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa
|
861-959 | | | Belum ada berita pada periode ini |
960 | Sri Udayaditya Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
| Sriwijaya
San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 960, & 962 |
980 | | | Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji) |
988 | Sri Cudamani Warmadewa
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
| Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i
| 990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou
|
1008 | Sri Mara-Vijayottunggawarman
Se-li-ma-la-pi
| San-fo-ts'i
Kataha
| Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008 |
1017 | | | Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan |
1025 | Sangrama-Vijayottunggawarman | Sriwijaya
Kadaram
| Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan
|
1030 | | | Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel |
1079 | | | Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton) |
1082 | | | Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088 |
1089-1177 | | | Belum ada berita |
1178 | | | Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i |
1183 | Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa | Dharmasraya | Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand |
[sunting]Warisan sejarah
Busana gadis penari
Gending Sriwijayayang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan
Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (
lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi
Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan
Bahasa Indonesiasebagai bahasa pemersatu Indonesia modern.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota
Palembang,
Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional
Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan
Thailand yang menciptakan kembali tarian
Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh
Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula
Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT
Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang),
Sriwijaya TV,
Sriwijaya Air (maskapai penerbangan),
Stadion Gelora Sriwijaya, dan
Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan
SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.